Kediri merupakan wilayah yang berada di bagian barat Jawa Timur. Pada zaman Dahulu, kawasan Kediri adalah sebuah kerajaan besar bernama Kerajaan Medang yang dipimpin oleh Prabu Airlangga. Sang Prabu berasal dari Pulau Bali. Ia menjadi Raja Medang setelah menikah dengan putri Raja Medang.
Prabu Airlangga adalah sosok yang religius, saat usianya beranjak senja, ia ingin menjadi seorang pertapa. Tahta Kerajaan Medang akan diserahkan kepada putri dari permaisurinya. Putri yang cantik jelita itu bernama Dyah Sangramwijaya.
Dyah Sangrama wijaya menolak keinginan ayahandanya. Ia tidak mempunyai keinginan memimpin kerajaan. Sebaliknya Dyah Sangramwijaya ingin menjadi seorang pertapa sama seperti sang ayah.
Kemudian ia meminta restu ayahandanya menjadi pertapa di Goa Selomangleng ( di kaki Gunung Klotok Kecamatan Mojoroto Kota Kediri). Ia pun mengubah namanya menjadi Dewi Kilisuci.
Setelah mendengar keinginan putrinya, Prabu Airlangga berfikir bahwa ia harus menyerahkan tahta kerajaan kepada putra dari selirnya. Sang Prabu memiliki dua putera bernama Raden Jayengrana dan Raden Jayanagara. Prabu merasa bingung untuk memilih salah satu yang akan diberi tahta Kerajaan Medang.
Prabu Airlangga berusaha mencari jalan keluar yang adil. Ia menyuruh Empu Baradha pergi ke Bali untuk meminta tahta kerajaan milik ayahanda Prabu Airlangga di Pulau Bali. Rencananya tahta kerajaan di Bali akan diberikan kepada salah satu puteranya.
Namun, tahta kerajaan milik ayahanda Prabu Airlangga ternyata sudah diberikan kepada adiknya. Prabu Airlangga tidak merasa marah, tetapi Prabu meminta bantuan kepada Empu Baradha untuk membagi Kerajaan Medang menjadi dua bagian untuk kedua puteranya.
Keesokan harinya, Empu Baradha terbang sambil membawa kendi ( teko dari tanah liat ) berisi air. Dari angkasa, ia tupahkan air kendi itu sambil terbang melintas persis di tengah-tengah Kerajaan Medang. Ajaibnya, tanah yang terkena tumpahan air kendi berubah menjadi sungai. Sungai tersebut semakin besar dan alirannya deras. Masyarakat menyebutnya Sungai Brantas.
Kerajaan Medang terbagi menjadi dua bagian dengan dibatasi Sungai Brantas. Prabu Airlangga menyerahkan dua bagian dari Kerajaan Medang itu kepada Raden Jayengrana dan Raden Jayanagara. Bagian Kerajaan Medang sebelah timur sungai diserahkan kepada Raden Jayengrana, kerajaan tersebut diberi nama Kerajaan Jenggala.
Sedangkan bagian barat sungai diserahkan kepada Raden Jayanagara, kerajaan tersebut diberi nama Kerajaan Kadiri (sekarang dikenal dengan nama Kediri). Dengan demikian, Prabu Airlangga merasa tenang pergi dari Kerajaan Medang untuk menjadi seorang pertapa.
Prabu Airlangga adalah sosok yang religius, saat usianya beranjak senja, ia ingin menjadi seorang pertapa. Tahta Kerajaan Medang akan diserahkan kepada putri dari permaisurinya. Putri yang cantik jelita itu bernama Dyah Sangramwijaya.
Dyah Sangrama wijaya menolak keinginan ayahandanya. Ia tidak mempunyai keinginan memimpin kerajaan. Sebaliknya Dyah Sangramwijaya ingin menjadi seorang pertapa sama seperti sang ayah.
Kemudian ia meminta restu ayahandanya menjadi pertapa di Goa Selomangleng ( di kaki Gunung Klotok Kecamatan Mojoroto Kota Kediri). Ia pun mengubah namanya menjadi Dewi Kilisuci.
Setelah mendengar keinginan putrinya, Prabu Airlangga berfikir bahwa ia harus menyerahkan tahta kerajaan kepada putra dari selirnya. Sang Prabu memiliki dua putera bernama Raden Jayengrana dan Raden Jayanagara. Prabu merasa bingung untuk memilih salah satu yang akan diberi tahta Kerajaan Medang.
Prabu Airlangga berusaha mencari jalan keluar yang adil. Ia menyuruh Empu Baradha pergi ke Bali untuk meminta tahta kerajaan milik ayahanda Prabu Airlangga di Pulau Bali. Rencananya tahta kerajaan di Bali akan diberikan kepada salah satu puteranya.
Namun, tahta kerajaan milik ayahanda Prabu Airlangga ternyata sudah diberikan kepada adiknya. Prabu Airlangga tidak merasa marah, tetapi Prabu meminta bantuan kepada Empu Baradha untuk membagi Kerajaan Medang menjadi dua bagian untuk kedua puteranya.
Keesokan harinya, Empu Baradha terbang sambil membawa kendi ( teko dari tanah liat ) berisi air. Dari angkasa, ia tupahkan air kendi itu sambil terbang melintas persis di tengah-tengah Kerajaan Medang. Ajaibnya, tanah yang terkena tumpahan air kendi berubah menjadi sungai. Sungai tersebut semakin besar dan alirannya deras. Masyarakat menyebutnya Sungai Brantas.
Kerajaan Medang terbagi menjadi dua bagian dengan dibatasi Sungai Brantas. Prabu Airlangga menyerahkan dua bagian dari Kerajaan Medang itu kepada Raden Jayengrana dan Raden Jayanagara. Bagian Kerajaan Medang sebelah timur sungai diserahkan kepada Raden Jayengrana, kerajaan tersebut diberi nama Kerajaan Jenggala.
Sedangkan bagian barat sungai diserahkan kepada Raden Jayanagara, kerajaan tersebut diberi nama Kerajaan Kadiri (sekarang dikenal dengan nama Kediri). Dengan demikian, Prabu Airlangga merasa tenang pergi dari Kerajaan Medang untuk menjadi seorang pertapa.
Prabu Airlangga menjadi pertapa di Pucangan. Ia mengganti namanya menjadi Maharesi Gentayu. Ketika meninggal dunia, jenazah Prabu Airlangga dimakamkan di lereng Gunung Penanggungan sebelah timur.
ASAL USUL NAMA KEDIRI
Nama Kediri berasal dari kata kedi yang artinya mandul atau wanita yang tidak berdatang bulan. Menurut Kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, kedi berarti orang kebiri. Di dalam lakon Wayang, Arjuno pernah menyamar menjadi guru tari di Negara Wirata, bernama Kedi Wrihanala.
Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, kedi berarti suci atau wadad. Disamping itu kata Kediri berasal dari kata diriyang berarti adeg, angdhiri, menghadiri atau menjadi raja (bahasa Jawa Jumenengan).
HARI JADI KABUPATEN DAN KOTA KEDIRI
“Ing Saka 706 Cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban”, artinya: pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban . Nama Kediri banyak tersedia dalam literatur kuno Jawa Kuno seperti: Buku Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Buku Calon.
Demikian pula beberapa prasasti menyebutkan nama Kediri seperti: Prasasti Ceker, tahun 1109 berada di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo. Dalam prasasti ini disebutkan, karena Rakyat Ceker membayar kepada Raja, mereka menerima hadiah tersebut, “Tanah Kesabaran” . Dalam prasasti tertulis “Sri Emperor Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” berarti raja telah kembali ke masa jabatannya, atau harapannya di Bhumi Kadiri. Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kecamatan Trenggalek yang berangkat pada 1116, tepatnya menurut Damais pada 31 Agustus 1194.
Dalam prasasti tersebut juga disebutkan namanya, Kediri, yang diserang oleh raja kerajaan timur. “Aka ni satru sangke kala sangke purnowo” , maka sang raja meninggalkan istananya di Katangkatang(“ketika sampai pada sifat yang sama dari kerajaan kaisar”).
Menurut Pak Sukarto Kartoatmojo menyebutkan bahwa “hari kelahiran Kediri” muncul dari tiga prasasti ABC pertamaHarinjing , namun pendapatnya, nama Kadiri paling baik ditampilkan pada tiga prasasti tersebut.
Alasan Prasasti Harinjing A tanggal 25 Maret 804 M, dianggap lebih tua dari prasasti B dan C, yaitu 19 September 921 dan 7 Juni 1015 M.Dilihat dari tiga tanggal tersebut nama Kediri ditetapkan pada tanggal 25 Maret 804 M. Ketika Bagawanta Bhari menerima hibah dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang ditulis pada tiga prasasti Harinjing.
ASAL USUL NAMA KEDIRI
Nama Kediri berasal dari kata kedi yang artinya mandul atau wanita yang tidak berdatang bulan. Menurut Kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, kedi berarti orang kebiri. Di dalam lakon Wayang, Arjuno pernah menyamar menjadi guru tari di Negara Wirata, bernama Kedi Wrihanala.
Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, kedi berarti suci atau wadad. Disamping itu kata Kediri berasal dari kata diriyang berarti adeg, angdhiri, menghadiri atau menjadi raja (bahasa Jawa Jumenengan).
HARI JADI KABUPATEN DAN KOTA KEDIRI
“Ing Saka 706 Cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban”, artinya: pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban . Nama Kediri banyak tersedia dalam literatur kuno Jawa Kuno seperti: Buku Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Buku Calon.
Demikian pula beberapa prasasti menyebutkan nama Kediri seperti: Prasasti Ceker, tahun 1109 berada di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo. Dalam prasasti ini disebutkan, karena Rakyat Ceker membayar kepada Raja, mereka menerima hadiah tersebut, “Tanah Kesabaran” . Dalam prasasti tertulis “Sri Emperor Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” berarti raja telah kembali ke masa jabatannya, atau harapannya di Bhumi Kadiri. Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kecamatan Trenggalek yang berangkat pada 1116, tepatnya menurut Damais pada 31 Agustus 1194.
Dalam prasasti tersebut juga disebutkan namanya, Kediri, yang diserang oleh raja kerajaan timur. “Aka ni satru sangke kala sangke purnowo” , maka sang raja meninggalkan istananya di Katangkatang(“ketika sampai pada sifat yang sama dari kerajaan kaisar”).
Menurut Pak Sukarto Kartoatmojo menyebutkan bahwa “hari kelahiran Kediri” muncul dari tiga prasasti ABC pertamaHarinjing , namun pendapatnya, nama Kadiri paling baik ditampilkan pada tiga prasasti tersebut.
Alasan Prasasti Harinjing A tanggal 25 Maret 804 M, dianggap lebih tua dari prasasti B dan C, yaitu 19 September 921 dan 7 Juni 1015 M.Dilihat dari tiga tanggal tersebut nama Kediri ditetapkan pada tanggal 25 Maret 804 M. Ketika Bagawanta Bhari menerima hibah dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang ditulis pada tiga prasasti Harinjing.
Nama Kediri kembali kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal sampai sekarang.
Sementara itu daerah seperti wilayah Waruk Sambung danWilang , hanya dikenakan “I mas Suwarna” kepada Sri Maharaja setiap bulan “Kesanga” (Centra) .Pembebasan atas pajak itu antara lain berupa “Kring Padammaduy” (Iuran Pemadam Kebakaran), “Tapahaji erhaji” (Iuran yang berhubungan dengan air), “Tuhan Tuha dagang” (Kepala perdagangan), “Tuha hujamman” (Ketua Kelompok masyarakat), “Manghuri” (Pujangga Kraton), “Pakayungan Pakalangkang” (Iuran lumbung padi),(Beads, permata) dan pajak lainnya.
Saat itu belum ada piagam untuknya. Kemudian sebagai pengingat akan jasanya maka dibuat prasasti sebagai “The Watchman” (Pengingat). Prasasti itu diberi nama ” HARINJING B”yang pada tahun 19 September 921 M. Dan itu disebut” Tahun bahagia dari masa lalu 843, bulan Asuji, hari kelima belas cahaya, cupid Humen, Umanis (manis). Budhawara (Rabo Day), Naksatra (bintang) Uttara Bhadrawada, dewi ahnibudhana, yoga wrsa.
Menurut penelitian para ahli institut jender, Drs. MM Soekarton Kartoadmodjo, Kediri lahir pada bulan Maret 804 Masehi. Sekitar tahun itu, Kediri mulai disebut sebagai tempat atau nama negara. Tidak ada sumber resmi seperti prasasti atau dokumen tertulis lainnya yang bisa disebutkan, padahal sebenarnya Kediri benar-benar merupakan pusat pemerintahan maupun tempat tempatnya. Dari prasasti ditemukan, tidak ada pemisahan wilayah administratif seperti sekarang ini.
Selanjutnya ditetapkan surat Keputusan Bupati Kepada Derah Tingkat II Kediri tanggal 22 Januari 1985 nomor 82 tahun 1985 tentang hari jadi Kediri, yang pasal 1 berbunyi “Tanggal 25 Maret 804 Masehi ditetapkan menjadi Hari Jadi Kediri.” (Berbagai Sumber
Sementara itu daerah seperti wilayah Waruk Sambung danWilang , hanya dikenakan “I mas Suwarna” kepada Sri Maharaja setiap bulan “Kesanga” (Centra) .Pembebasan atas pajak itu antara lain berupa “Kring Padammaduy” (Iuran Pemadam Kebakaran), “Tapahaji erhaji” (Iuran yang berhubungan dengan air), “Tuhan Tuha dagang” (Kepala perdagangan), “Tuha hujamman” (Ketua Kelompok masyarakat), “Manghuri” (Pujangga Kraton), “Pakayungan Pakalangkang” (Iuran lumbung padi),(Beads, permata) dan pajak lainnya.
Saat itu belum ada piagam untuknya. Kemudian sebagai pengingat akan jasanya maka dibuat prasasti sebagai “The Watchman” (Pengingat). Prasasti itu diberi nama ” HARINJING B”yang pada tahun 19 September 921 M. Dan itu disebut” Tahun bahagia dari masa lalu 843, bulan Asuji, hari kelima belas cahaya, cupid Humen, Umanis (manis). Budhawara (Rabo Day), Naksatra (bintang) Uttara Bhadrawada, dewi ahnibudhana, yoga wrsa.
Menurut penelitian para ahli institut jender, Drs. MM Soekarton Kartoadmodjo, Kediri lahir pada bulan Maret 804 Masehi. Sekitar tahun itu, Kediri mulai disebut sebagai tempat atau nama negara. Tidak ada sumber resmi seperti prasasti atau dokumen tertulis lainnya yang bisa disebutkan, padahal sebenarnya Kediri benar-benar merupakan pusat pemerintahan maupun tempat tempatnya. Dari prasasti ditemukan, tidak ada pemisahan wilayah administratif seperti sekarang ini.
Selanjutnya ditetapkan surat Keputusan Bupati Kepada Derah Tingkat II Kediri tanggal 22 Januari 1985 nomor 82 tahun 1985 tentang hari jadi Kediri, yang pasal 1 berbunyi “Tanggal 25 Maret 804 Masehi ditetapkan menjadi Hari Jadi Kediri.” (Berbagai Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar